7.20.2012

MK Perintahkan Penghentian Seluruh Tahapan Pelaksanaan Pilgub Papua


Pemerintah: Parpol Berkursi Tak Perlu Verifikasi

Ketentuan mengenai ambang batas perolehan suara sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), menurut pendapat Pemerintah, peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik (parpol) yang memenuhi nilai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 2,5% pada pemilu 2009. Atau parpol yang sudah mempunyai kursi di DPR sebagai representasi dari dukungan rakyat, dan parpol yang lulus verifikasi di KPU. 
Persyaratan menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu sinkron dengan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 
Hal tersebut juga sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa parpol yang berbadan hukum tidak perlu diverifikasi untuk menjadi badan hukum. “Dengan demikian, maka partai politik yang sudah mempunyai kursi di DPR tidak perlu lagi diverifikasi untuk menjadi peserta pemilu.” 
Demikian dikatakan Bambang Kusumajadi saat menyampaikan opening statement Pemerintah dalam sidang uji materiil dan formil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/7/2012). Sidang kali ketiga untuk gabungan perkara 51/PUU-X/2012, 52/PUU-X/2012, 54/PUU-X/2012 dan 55/PUU-X/2012, beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah. Permohonan uji materiil dan formil UU Pemilu ini masing-masing diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) dkk, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dkk, Partai Nasional Indonesia (PNI) dkk, dan Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Lebih lanjut Pemerintah menyatakan, pembahasan mengenai pembentukan UU Pemilu telah mempertimbangkan hal-hal yang mendasar yaitu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD melalui pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemilu wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Mengenai masalah besaran nilai ambang batas mengikuti electoral threshold/ET maupun parliamentary threshold/PT, menurut Pemerintah, hal itu merupakan kewenangan pembentuk UU. PT merupakan tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh parpol untuk mendapatkan perwakilan kursi di DPR. 
Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu mempunyai arti bahwa partai politik yang memenuhi PT pada pemilu terakhir, dijadikan sebagai ET untuk pemilu berikutnya. Dengan demikian, maka UU Pemilu memberlakukan PT tahun 2009 sebagai ET tahun 2014 dengan melengkapi persyaratan sebagai diatur pada Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu. 
Pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas program yang dicanangkan pemerintah pusat dan daerah. Fakta yang terjadi sebelumnya, seringkali program yang dicanangkan pemerintah pusat tidak sejalan dengan program yang ada di daerah. Hal ini disebabkan masing-masing keterwakilan parpol di DPR dan DPRD berbeda latar belakangnya dikarenakan dalam Pemilu 2009, parpol politik yang terwakili di DPR belum tentu mempunyai keterwakilan di DPRD, begitu juga sebaliknya. “Hal ini sangat memengaruhi sinergitas program pembangunan di pusat dan daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintah kurang efektif,” tambah Kusumajadi. 
Kemudian terkait dengan suara sah secara nasional yang harus diperoleh parpol politik untuk mendapatkan kursi di DPR, DPRD dalam pemilu yang demokratis, luber dan jurdil, justru pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan kepada rakyat memilih yang berdaulat. “Hal demikian juga sebagai tolak ukur apakah partai politik yang menjadi peserta pemilu 2014 mendapatkan dukungan dari rakyat,” terang Kusmajadi. 
Sementara itu, Eros Djarot saat didaulat sebagai saksi pemohon menyatakan, revisi UU Pemilu setiap lima tahun sekali menggambarkan adanya ketidakpastian sistem politik dan ketidakpastian hukum. Legalitas parpol terombang ambing sehingga kaderisasi terabaikan. Demi kepentingan sesaat, proses revisi pembentukan UU Pemilu dan Pilpres dipelintir menjadi sebuah UU yang tidak memiliki asas-asas normatif dan jauh dari logika hukum. “Proses pembentukan Undang-Undang Pemilu yang berpotensi melahirkan konflik horizontal yang berkepanjangan harus dicegah dan dikoreksi total,” tandas Eros.
MK Perintahkan Penghentian Seluruh Tahapan Pelaksanaan Pilgub Papua
Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan sela dalam perkara No. 3/SKLN-X/2012 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (Termohon I) dan Gubernur Papua (Termohon II), Kamis (19/7). Dalam amar putusan sela ini, MK memerintahkan kepada DPRP, Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua, dan KPU untuk menghentikan seluruh tahapan pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua sejak putusan sela ini diucapkan sampai dengan adanya putusan MK.
“Mengadili, Menyatakan. Sebelum menjatuhkan putusan akhir, memerintahkan kepada Termohon I (Dewan Perwakilan Rakyat Papua), Termohon II (Gubernur Papua), Majelis Rakyat Papua, dan Pemohon (Komisi Pemilihan Umum) untuk menghentikan seluruh tahapan pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua sejak putusan sela ini diucapkan sampai dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pokok permohonan,” kata Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki.
MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, permohonan yang diajukan KPU pada pokoknya adalah mengenai pengambilalihan kewenangan konstitusional KPU dan KPU Papua yang dilakukan oleh DPRP dalam menyusun dan menetapkan pedoman teknis tentang tahapan Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Papua.
Selanjutnya dalam pertimbangan, KPU memohon kepada MK agar sebelum melanjutkan pemeriksaan pokok permohonan, Mahkamah menjatuhkan putusan provisi (sela) agar DPRP dan Gubernur Papua menghentikan seluruh tahapan pelaksanaan Pilgub Papua sampai dengan adanya putusan terhadap pokok permohonan. Adapun alasan yang diajukan, untuk mencegah pelanggaran konstitusi, inefisiensi penggunaan anggaran oleh DPRP dan Gubernur Papua yang tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk menyelenggarakan Pilgub Papua, dan mencegah konflik horizontal.
Bahwa terhadap permohonan putusan provisi tersebut, DPRP menyatakan, pelaksanaan Pilgub Papua sudah pada tahapan penyerahan berkas pasangan calon dari DPRP kepada MRP. Selain mempertimbangkan berbagai peraturan terkait putusan sela, MK berpendapat pelaksanaan tahapan Pilgub Papua dapat menimbulkan ketidakpastian yang berdampak pada hal lainnya.
“Menurut Mahkamah, sepanjang belum ada putusan akhir dari Mahkamah tentang sengketa kewenangan dalam perkara  a quo  maka pelaksanaan tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang dilakukan oleh DPRP maupun MRP sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Nomor 064/Pim DPRP-5/2012, bertanggal 27 April 2012 dapat menimbulkan ketidakpastian yang akan berdampak pada stabilitas keamanan, efisiensi penggunaan anggaran, dan kelancaran penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua,” jelas Achmad Sodiki saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Achmad Sodiki kemudian menyatakan, “Oleh  karena itu, Mahkamah dapat menerima alasan Pemohon untuk menjatuhkan putusan sela dalam perkara ini sebelum menjatuhkan putusan akhir untuk mencegah terjadinya pelanggaran konstitusi.”
Terhadap putusan sela MK ini, para pihak yang bersidang, baik itu KPU, DPRP, Gubernur Papua, dan MRP mengaku menerima dan menghormati putusan MK.